Sunday 10 February 2013

Alfalfa camp

Mau belajar bahasa inggris, khususnya untuk program Speaking, di Alfalfa club House aja,  di sini kita akan belajar banyak bahasa Inggris menggunakan metode-metode yang mudah dipahami dan tentunya dengan metode cinta, disini kita tidak hanya belajar bahasa Inggris aja bro, tapi juga belajar tentang bagaimana arti kebersamaan dan arti kehidupan tentunya, so, come and join Us..

Thursday 31 January 2013

Memupuk Rasa Percaya Diri



Pernahkah anda mengalami krisis kepercayaan diri atau dalam bahasa sehari-hari "tidak pede" dalam menghadapi suatu situasi atau persoalan? Saya yakin hampir setiap orang pernah mengalami krisis kepercayaan diri dalam rentang kehidupannya, sejak masih anak-anak hingga dewasa bahkan sampai usia lanjut. Ruang konseling di website inipun banyak diwarnai dengan pertanyaan seputar kasus-kasus yang berhubungan dengan krisis kepercayaan diri tersebut. Sudah tentu, hilangnya rasa percaya diri menjadi sesuatu yang amat mengganggu, terlebih ketika dihadapkan pada tantangan atau pun situasi baru. Individu sering berkata pada diri sendiri, "dulu saya tidak penakut seperti ini....kenapa sekarang jadi begini ?" ada juga yang berkata: "kok saya tidak seperti dia,...yang selalu percaya diri...rasanya selalu saja ada yang kurang dari diri saya...saya malu menjadi diri saya!"
Menyikapi kondisi seperti tersebut diatas maka akan muncul pertanyaan dalam benak kita: mengapa rasa percaya diri begitu penting dalam kehidupan individu. Lalu apakah kurangnya rasa percaya diri dapat diperbaiki sehingga tidak menghambat perkembangan individu dalam menjalankan tugas sehari-hari maupun dalam hubungan interpersonal. Jika memang rasa kurnag percaya diri dapat diperbaiki, langkah-langkah apakah yang harus dilakukan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan saya jawab dalam artikel ini.
Kepercayaan Diri
Kepercayaan diri adalah sikap positif seorang individu yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan/situasi yang dihadapinya. Hal ini bukan berarti bahwa individu tersebut mampu dan kompeten melakukan segala sesuatu seorang diri, alias "sakti". Rasa percaya diri yang tinggi sebenarnya hanya merujuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan individu tersebut dimana ia merasa memiliki kompetensi, yakin, mampu dan percaya bahwa dia bisa - karena didukung oleh pengalaman, potensi aktual, prestasi serta harapan yang realistik terhadap diri sendiri.

Beberapa ciri atau karakteristik individu yang mempunyai rasa percaya diri yang proporsional, diantaranya adalah :
  • Percaya akan kompetensi/kemampuan diri, hingga tidak membutuhkan pujian, pengakuan, penerimaan, atau pun rasa hormat orang lain
  • Tidak terdorong untuk menunjukkan sikap konformis demi diterima oleh orang lain atau kelompok
  • Berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain - berani menjadi diri sendiri
  • Punya pengendalian diri yang baik (tidak moody dan emosinya stabil)
  • Memiliki internal locus of control (memandang keberhasilan atau kegagalan, tergantung dari usaha diri sendiri dan tidak mudah menyerah pada nasib atau keadaan serta tidak tergantung/mengharapkan bantuan orang lain)
  • Mempunyai cara pandang yang positif terhadap diri sendiri, ornag lain dan situasi di luar dirinya
  • Memiliki harapan yang realistik terhadap diri sendiri, sehingga ketika harapan itu tidak terwujud, ia tetap mampu melihat sisi positif dirinya dan situasi yang terjadi.

Beberapa ciri atau karakteristik individu yang kurang percaya diri, diantaranya adalah:
  • Berusaha menunjukkan sikap konformis, semata-mata demi mendapatkan pengakuan dan penerimaan kelompok
  • Menyimpan rasa takut/kekhawatiran terhadap penolakan
  • Sulit menerima realita diri (terlebih menerima kekurangan dir) dan memandang rendah kemampuan diri sendiri - namun di lain pihak memasang harapan yang tidak realistik terhadap diri sendiri
  • Pesimis, mudah menilai segala sesuatu dari sisi negatif
  • Takut gagal, sehingga menghindari segala resiko dan tidak berani memasang target untuk berhasil
  • Cenderung menolak pujian yang ditujukan secara tulus (karena undervalue diri sendiri)
  • Selalu menempatkan/memposisikan diri sebagai yang terakhir, karena menilai dirinya tidak mampu
  • Mempunyai external locus of control (mudah menyerah pada nasib, sangattergantung pada keadaan dan pengakuan/penerimaan serta bantuan orang lain)

Perkembangan Rasa Percaya Diri
Pola Asuh
Para ahli berkeyakinan bahwa kepercayaan diri bukanlah diperoleh secara instant, melainkan melalui proses yang berlangsung sejak usia dini, dalam kehidupan bersama orangtua. Meskipun banyak faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri seseorang, namun faktor pola asuh dan interaksi di usia dini, merupakan faktor yang amat mendasar bagi pembentukan rasa percaya diri.Sikap orangtua, akan diterima oleh anak sesuai dengan persepsinya pada saat itu. orangtua yang menunjukkan kasih, perhatian, penerimaan, cinta dan kasih sayang serta kelekatan emosional yang tulus dengan anak, akan membangkitkan rasa percara diri pada anak tersebut. Anak akan merasa bahwa dirinya berharga dan bernilai di mata orangtuanya. Dan, meskipun ia melakukan kesalahan, dari sikap orangtua anak melihat bahwa dirinya tetaplah dihargai dan dikasihi. Anak dicintai dan dihargai bukan tergantung pada prestasi atau perbuatan baiknya, namun karena eksisitensinya. Di kemudian hari anak tersebut akan tumbuh menjadi individu yang mampu menilai positif dirinya dan mempunyai harapan yang realistik terhadap diri - seperti orangtuanya meletakkan harapan realistik terhadap dirinya.
Lain halnya dengan orangtua yang kurang memberikan perhatian pada anak, atau suka mengkritik, sering memarahi anak namun kalau anak berbuat baik tidak pernah dipuji, tidak pernah puas dengan hasil yang dicapai oleh anak, atau pun seolah menunjukkan ketidakpercayaan mereka pada kemampuan dan kemandirian anak dengan sikap overprotective yang makin meningkatkan ketergantungan. Tindakan overprotective orangtua, menghambat perkembangan kepercayaan diri pada anak karena anak tidak belajar mengatasi problem dan tantangannya sendiri - segala sesuatu disediakan dan dibantu orangtua. Anak akan merasa, bahwa dirinya buruk, lemah, tidak dicintai, tidak dibutuhkan, selalu gagal, tidak pernah menyenangkan dan membahagiakan orangtua. Anak akan merasa rendah diri di mata saudara kandungnya yang lain atau di hadapan teman-temannya.
Menurut para psikolog, orangtua dan masyarakat seringkali meletakkan standar dan harapan yang kurang realistik terhadap seorang anak atau pun individu. Sikap suka membanding-bandingkan anak, mempergunjingkan kelemahan anak, atau pun membicarakan kelebihan anak lain di depan anak sendiri, tanpa sadar menjatuhkan harga diri anak-anak tersebut. Selain itu, tanpa sadar masyarakat sering menciptakan trend yang dijadikan standar patokan sebuah prestasi atau pun penerimaan sosial. Contoh kasus yang riil pernah terjadi di tanah air, ketika seorang anak bunuh diri gara-gara dirinya tidak diterima masuk di jurusan A1 (IPA), meski dia sudah bersekolah di tempat yang elit; rupanya sang orangtua mengharap anaknya diterima di A1 atau paling tidak A2, agar kelak bisa menjadi dokter. Atau, orangtua yang memaksakan anaknya ikut les ini dan itu, hanya karena anak-anak lainnya pun demikian.
Situasi ini pada akhirnya mendorong anak tumbuh menjadi individu yang tidak bisa menerima kenyataan dirinya, karena di masa lalu (bahkan hingga kini), setiap orang mengharapkan dirinya menjadi seseorang yang bukan dirinya sendiri. Dengan kata lain, memenuhi harapan sosial. Akhirnya, anak tumbuh menjadi individu yang punya pola pikir : bahwa untuk bisa diterima, dihargai, dicintai, dan diakui, harus menyenangkan orang lain dan mengikuti keinginan mereka. Pada saat individu tersebut ditantang untuk menjadi diri sendiri - mereka tidak punya keberanian untuk melakukannya. Rasa percaya dirinya begitu lemah, sementara ketakutannya terlalu besar.

Pola Pikir Negatif
Dalam hidup bermasyarakat, setiap individu mengalami berbagai masalah, kejadian, bertemu orang-orang baru, dsb. Reaksi individu terhadap seseorang atau pun sebuah peristiwa, amat dipengaruhi oleh cara berpikirnya. Individu dengan rasa percaya diri yang lemah, cenderung mempersepsi segala sesuatu dari sisi negatif. Ia tidak menyadari bahwa dari dalam dirinya lah semua negativisme itu berasal. Pola pikir individu yang kurang percaya diri, bercirikan antara lain:
  • Menekankan keharusan-keharusan pada diri sendiri ("saya harus bisa begini...saya harus bisa begitu"). Ketika gagal, individu tersebut merasa seluruh hidup dan masa depannya hancur.
  • Cara berpikir totalitas dan dualisme : "kalau saya sampai gagal, berarti saya memang jelek"
  • Pesimistik yang futuristik : satu saja kegagalan kecil, individu tersebut sudah merasa tidak akan berhasil meraih cita-citanya di masa depan. Misalnya, mendapat nilai C pada salah satu mata kuliah, langsung berpikir dirinya tidak akan lulus sarjana.
  • Tidak kritis dan selektif terhadap self-criticism : suka mengkritik diri sendiri dan percaya bahwa dirinya memang pantas dikritik.
  • Labeling : mudah menyalahkan diri sendiri dan memberikan sebutan-sebutan negatif, seperti "saya memang bodoh"..."saya ditakdirkan untuk jadi orang susah", dsb....
  • Sulit menerima pujian atau pun hal-hal positif dari orang lain : ketika orang memuji secara tulus, individu langsung merasa tidak enak dan menolak mentah-mentah pujiannya. Ketika diberi kesempatan dan kepercayaan untuk menerima tugas atau peran yang penting, individu tersebut langsung menolak dengan alasan tidak pantas dan tidak layak untuk menerimanya.
  • Suka mengecilkan arti keberhasilan diri sendiri : senang mengingat dan bahkan membesar-besarkan kesalahan yang dibuat, namun mengecilkan keberhasilan yang pernah diraih. Satu kesalahan kecil, membuat individu langsung merasa menjadi orang tidak berguna.

Memupuk Rasa Percaya Diri
Untuk menumbuhkan rasa percaya diri yang proporsional maka individu harus memulainya dari dalam diri sendiri. Hal ini sangat penting mengingat bahwa hanya individu yang bersangkutan yang dapat mengatasi rasa kurang percaya diri yang sedang dialaminya. Beberapa saran berikut mungkin layak menjadi pertimbangkan jika anda sedang mengalami krisis kepercayaan diri.
1. Evaluasi diri secara obyektif
Belajar menilai diri secara obyektif dan jujur. Susunlah daftar "kekayaan" pribadi, seperti prestasi yang pernah diraih, sifat-sifat positif, potensi diri baik yang sudah diaktualisasikan maupun yang belum, keahlian yang dimiliki, serta kesempatan atau pun sarana yang mendukung kemajuan diri. Sadari semua asset-asset berharga Anda dan temukan asset yang belum dikembangkan. Pelajari kendala yang selama ini menghalangi perkembangan diri Anda, seperti : pola berpikir yang keliru, niat dan motivasi yang lemah, kurangnya disiplin diri, kurangnya ketekunan dan kesabaran, tergantung pada bantuan orang lain, atau pun sebab-sebab eksternal lain. Hasil analisa dan pemetaan terhadap SWOT (Strengths, Weaknesses, Obstacles and Threats) diri, kemudian digunakan untuk membuat dan menerapkan strategi pengembangan diri yang lebih realistik.
2. Beri penghargaan yang jujur terhadap diri
Sadari dan hargailah sekecil apapun keberhasilan dan potensi yang anda miliki. Ingatlah bahwa semua itu didapat melalui proses belajar, berevolusi dan transformasi diri sejak dahulu hingga kini. Mengabaikan/meremehkan satu saja prestasi yang pernah diraih, berarti mengabaikan atau menghilangkan satu jejak yang membantu Anda menemukan jalan yang tepat menuju masa depan. Ketidakmampuan menghargai diri sendiri, mendorong munculnya keinginan yang tidak realistik dan berlebihan; contoh: ingin cepat kaya, ingin cantik, populer, mendapat jabatan penting dengan segala cara. Jika ditelaah lebih lanjut semua itu sebenarnya bersumber dari rasa rendah diri yang kronis, penolakan terhadap diri sendiri, ketidakmampuan menghargai diri sendiri - hingga berusaha mati-matian menutupi keaslian diri.
3. Positive thinking
Cobalah memerangi setiap asumsi, prasangka atau persepsi negatif yang muncul dalam benak Anda. Anda bisa katakan pada diri sendiri, bahwa nobodys perfect dan its okay if I made a mistake. Jangan biarkan pikiran negatif berlarut-larut karena tanpa sadar pikiran itu akan terus berakar, bercabang dan berdaun. Semakin besar dan menyebar, makin sulit dikendalikan dan dipotong. Jangan biarkan pikiran negatif menguasai pikiran dan perasaan Anda. Hati-hatilah agar masa depan Anda tidak rusak karena keputusan keliru yang dihasilkan oleh pikiran keliru. Jika pikiran itu muncul, cobalah menuliskannya untuk kemudian di re-view kembali secara logis dan rasional. Pada umumnya, orang lebih bisa melihat bahwa pikiran itu ternyata tidak benar.
4. Gunakan self-affirmation
Untuk memerangi negative thinking, gunakan self-affirmation yaitu berupa kata-kata yang membangkitkan rasa percaya diri. Contohnya:
  • Saya pasti bisa !!
  • Saya adalah penentu dari hidup saya sendiri. Tidak ada orang yang boleh menentukan hidup saya !
  • Saya bisa belajar dari kesalahan ini. Kesalahan ini sungguh menjadi pelajaran yang sangat berharga karena membantu saya memahami tantangan
  • Sayalah yang memegang kendali hidup ini
  • Saya bangga pada diri sendiri
5. Berani mengambil resiko
Berdasarkan pemahaman diri yang obyektif, Anda bisa memprediksi resiko setiap tantangan yang dihadapi. Dengan demikian, Anda tidak perlu menghindari setiap resiko, melainkan lebih menggunakan strategi-strategi untuk menghindari, mencegah atau pun mengatasi resikonya. Contohnya, Anda tidak perlu menyenangkan orang lain untuk menghindari resiko ditolak. Jika Anda ingin mengembangkan diri sendiri (bukan diri seperti yang diharapkan orang lain), pasti ada resiko dan tantangannya. Namun, lebih buruk berdiam diri dan tidak berbuat apa-apa daripada maju bertumbuh dengan mengambil resiko. Ingat: No Risk, No Gain.
6. Belajar mensyukuri dan menikmati rahmat Tuhan
Ada pepatah mengatakan yang mengatakan orang yang paling menderita hidupnya adalah orang yang tidak bisa bersyukur pada Tuhan atas apa yang telah diterimanya dalam hidup. Artinya, individu tersebut tidak pernah berusaha melihat segala sesuatu dari kaca mata positif. Bahkan kehidupan yang dijalaninya selama ini pun tidak dilihat sebagai pemberian dari Tuhan. Akibatnya, ia tidak bisa bersyukur atas semua berkat, kekayaan, kelimpahan, prestasi, pekerjaan, kemampuan, keahlian, uang, keberhasilan, kegagalan, kesulitan serta berbagai pengalaman hidupnya. Ia adalah ibarat orang yang selalu melihat matahari tenggelam, tidak pernah melihat matahari terbit. Hidupnya dipenuhi dengan keluhan, rasa marah, iri hati dan dengki, kecemburuan, kekecewaan, kekesalan, kepahitan dan keputusasaan. Dengan "beban" seperti itu, bagaimana individu itu bisa menikmati hidup dan melihat hal-hal baik yang terjadi dalam hidupnya? Tidak heran jika dirinya dihinggapi rasa kurang percaya diri yang kronis, karena selalu membandingkan dirinya dengan orang-orang yang membuat "cemburu" hatinya. Oleh sebab itu, belajarlah bersyukur atas apapun yang Anda alami dan percayalah bahwa Tuhan pasti menginginkan yang terbaik untuk hidup Anda.
7. Menetapkan tujuan yang realistik
Anda perlu mengevaluasi tujuan-tujuan yang Anda tetapkan selama ini, dalam arti apakah tujuan tersebut sudah realistik atau tidak. Dengan menerapkan tujuan yang lebih realistik, maka akan memudahkan anda dalam mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian anda akan menjadi lebih percaya diri dalam mengambil langkah, tindakan dan keputusan dalam mencapai masa depan, sambil mencegah terjadinya resiko yang tidak diinginkan.
Mungkin masih ada beberapa cara lain yang efektif untuk menumbuhkan rasa percaya diri. Jika anda dapat melakukan beberapa hal serpti yang disarankan di atas, niscaya anada akan terbebas dari krisis kepercayaan diri. Namun demikian satu hal perlu diingat baik-baik adalah jangan sampai anda mengalami over confidence atau rasa percaya diri yang berlebih-lebihan/overdosis. Rasa percaya diri yang overdosis bukanlah menggambar kondisi kejiwaan yang sehat karena hal tersebut merupakan rasa percaya diri yang bersifat semu.
Rasa percaya diri yang berlebihan pada umumnya tidak bersumber dari potensi diri yang ada, namun lebih didasari oleh tekanan-tekanan yang mungkin datang dari orangtua dan masyarakat (sosial), hingga tanpa sadar melandasi motivasi individu untuk "harus" menjadi orang sukses. Selain itu, persepsi yang keliru pun dapat menimbulkan asumsi yang keliru tentang diri sendiri hingga rasa percaya diri yang begitu besar tidak dilandasi oleh kemampuan yang nyata. Hal ini pun bisa didapat dari lingkungan di mana individu di besarkan, dari teman-teman (peer group) atau dari dirinya sendiri (konsep diri yang tidak sehat). Contohnya, seorang anak yang sejak lahir ditanamkan oleh orangtua, bahwa dirinya adalah spesial, istimewa, pandai, pasti akan menjadi orang sukses, dsb - namun dalam perjalanan waktu anak itu sendiri tidak pernah punya track record of success yang riil dan original (atas dasar usahanya sendiri). Akibatnya, anak tersebut tumbuh menjadi seorang manipulator dan dan otoriter - memperalat, menguasai dan mengendalikan orang lain untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Rasa percaya diri pada individu seperti itu tidaklah didasarkan oleh real competence, tapi lebih pada faktor-faktor pendukung eksternal, seperti kekayaan, jabatan, koneksi, relasi, back up power keluarga, nama besar orangtua, dsb. Jadi, jika semua atribut itu ditanggalkan, maka sang individu tersebut bukan siapa-siapa

Top of Form

Memperbaiki Konsep Diri



 
Pengertian & Alasan
Kalau melihat berbagai literatur Psikologi, Konsep-diri ini  merupakan pembahasan penting. Konsep-diri adalah apa yang kita persepsikan terhadap diri kita; bagaimana kita mempersepsikan diri sendiri. Semua orang pada dasarnya punya konsep-diri. Yang berbeda adalah "bagaimana-nya" persepsi itu kita ciptakan, pikirkan, dan rasakan. Kita lihat sehari-hari. Ada orang yang mempersepsikan dirinya sebagai sosok yang memiliki kelebihan tertentu. Persepsi ini kemudian mendorongnya untuk meraih prestasi tertentu. Logikanya, kalau kita sudah punya dorongan, maka ini memudahkan kita meraih prestasi yang kita inginkan. Soal kualitasnya bagaimana,  ini soal proses.

Ada juga orang yang mempersepsikan dirinya sebagai sosok yang tidak punya kelebihan apa-apa. Secara by nature, persepsi demikian kurang memberikan dorongan. Konsekuensinya, kalau dorongan itu lemah, ya kemungkinannya juga kecil. Seperti kata Kidd (1998), "feeling of success spur action". Intinya, ada Konsep-diri positif dan ada Konsep-diri negatif. Konsep-diri ini biasanya amat sangat jarang kita nyatakan melalui ucapan mulut (verbal). Bahkan banyak yang tidak kita sadari. Umumnya, konsep-diri itu kita "batin" dan langsung kita praktekkan. Karena itu ada yang mengatakan nasib orang itu tercetak tanpa pengumuman (diam-diam). Sejauhmanakah konsep-diri ini punya pengaruh bagi kemajuan seseorang? Ada beberapa hal yang bisa kita catat di sini:

Pertama, konsep-diri berhubungan dengan kualitas hubungan intrapersonal (diri sendiri). Konsep-diri positif akan memproduksi kualitas hubungan yang positif. Ini misalnya harmonis dengan diri sendiri, mengetahui kelebihan dan kelemahan secara lebih akurat, atau punya penilaian positif terhadap diri sendiri. Hubungan yang harmonis akan menciptakan kebahagiaan-diri (perasaan positif terhadap diri sendiri).

Menurut Michael Angier, perasaan positif mendorong kita untuk melakukan  hal-hal positif. Jim Rohn menyimpulkan bahwa seringkali kita tidak bisa melakukan sesuatu dengan baik karena kita menyimpan perasaan yang tidak baik. Kalau kita sedang merasa "nggak karu-karuan", biasanya pekerjaan kita berantakan juga.Karena itu, Einstein menyimpulkan bahwa karya besar itu tidak lahir dari seorang yang jiwanya sedang kacau.

Kedua, konsep diri terkait dengan kualitas hubungan dengan orang lain. Orang yang hubunganya harmonis dengan dirinya akan menghasilkan hubungan yang harmonis dengan orang lain. Inilah yang menjadi pokok bahasan Kecerdasan Emosional (EQ). Sebaliknya, orang yang di dalam dirinya ada perang, akan mudah memproduksi peperangan juga di luar.  

Karena itu, berbagai study di bidang kesehatan mental mengungkap bahwa orang yang sedang mengalami stres atau depresi kurang bisa menjalin hubungan yang harmonis dengan orang lain. Biasanya, hubungan mereka diwarnai dengan semangat permusuhan, perdebatan, konflik atau minimalnya gampang patah. Selain terkait dengan soal kualitas keharmonisan, Konsep-diri juga terkait dengan soal setting mental atau isi pikiran saat berhubungan dengan orang lain. Dale Carnegie menyebutnya dengan istilah filsafat hidup. Ada orang yang punya filsafat hidup memberi, ingin berbagi, ingin bekerjasama, ingin meminta (diberi), ingin mengambil, dan lain-lain.

Konsep diri yang lemah akan mendorong kita untuk meminta (asking or begging). Ini misalnya saja: apa yang bisa diberikan kepada saya, apa yang bisa saya "manfaatkan", apa yang bisa saya ambil, dan lain-lain. Sebaliknya, konsep-diri yang kuat akan mendorong kita untuk berpikir, misalnya saja: Apa yang bisa saya berikan, apa yang bisa saya kerjasamakan, apa yang bisa saya sinergikan, apa yang bisa saya serviskan, apa yang bisa saya bantu, dan lain-lain.

Kalau bicara keharmonisan hubungan jangka panjang, konsep mental yang paling menjanjikan adalah konsep mental yang kuat: saling memberi, saling berbagi, saling bersinergi, dan semisalnya. Intinya ada unsur win-win-nya. Soal bentuknya kayak apa, ini urusan lain.

Ketiga, konsep diri terkait dengan kualitas seseorang dalam menghadapi  perubahan keadaan. Perubahan itu bisa dipahami sebagai tekanan (pressure) atau tantangan (challenge). Ini tergantung pada bagaimana kita punya persepsi diri. Tantangan adalah "panggilan" atau kesempatan untuk membuktikan kemampuan, kebolehan, atau kehebatan kita.

Konsep-diri yang bagus akan memproduksi kepercayaan yang bagus (pede). Orang yang pede akan cenderung melihat perubahan sebagai tantangan untuk dihadapi, tantangan untuk diselesaikan, tantangan untuk dilompati. Karena itu, seperti kata Mohammad Ali, petinju legendaris itu, yang membuat orang lari dari masalah itu adalah kepercayaan-diri yang rendah. 

Sumber Konsep-diri
Karena kita ini punya sebutan ganda (makhluk individual dan sosial), maka konsep diri yang kita miliki pun  bersumber dari dua arah, yaitu:
  • Sumber eksternal 
  • Sumber internal.
Sumber eksternal itu misalnya adalah keluarga, lingkungan, komunitas, atau sumber-sumber lainnya. Tak jarang kita temui ada satu keluarga yang seluruh SDM-nya bagus. Tapi tak jarang juga kita jumpai ada satu keluarga yang SDM-nya tidak / belum bagus. Ini terkait dengan pemahaman, nilai-nilai, budaya, dan berbagai "intangible element" yang melandasi terbentuknya konsep-diri tertentu di dalam keluarga.

Begitu juga dengan lembaga sekolah. Ada sekolah-sekolah tertentu yang sepertinya sudah "berpengalaman" mencetak alumni yang sebagian besarnya bagus. Tapi ada yang sama sekali tidak / belum jelas alumninya. Apa yang membedakan? Salah satu yang membedakan adalah konsep-diri kolektif yang berkembang di sekolah itu. Tentu juga terkait dengan faktor-faktor "eks" lainnya.

Sumber internal maksudnya adalah kita sendiri yang menciptakan. Terlepas apakah itu kita ciptakan secara sadar atau tidak. Ketika kita berkesimpulan tidak punya kelebihan apa-apa, tidak punya resource apa-apa, tidak punya bakat apa-apa, tidak punya arti apa-apa, sebetulnya itu bukan berarti kita tidak punya. Itu semua adalah penilaian kita, persepsi kita, atau opini kita tentang diri kita. Pendeknya, itulah konsep-diri yang kita pilih.

Perlu secara fair kita akui juga, ketika kita punya konsep-diri seperti di atas, ini memang tidak membuat kita mati. Tapi untuk kepentingan kemajuan, perkembangan, aktualisasi-diri, dan lain-lain, konsep-diri itu punya peranan yang signifikan. Dr. Maxwell Maltz menyimpulkan tindakan manusia itu erat kaitannya dengan bagaimana manusia itu mendefinisikan dirinya. Senada dengan itu, Gordan Dryden dan Dr. Jeannette  Vos menulis, "Dari sistem pendidikan yang terbukti berhasil di seluruh dunia, citra diri ternyata lebih penting dari materi pelajaran."

Ada satu hal lagi yang mungkin perlu kita ingat di sini. Dari praktek hidup bisa kita ketahui bahwa konsep-diri itu ada yang sifatnya permanen (substansial). Artinya sudah masuk dalam file Alam Bawah Sadar, sudah menjadi gaya hidup, sudah benar-benar melekat dengan diri kita. Ini misalnya: kita secara otomatik punya konsep-diri yang lemah atau negatif dan itu berlangsung dalam periode yang cukup lama.

Tetapi ada juga yang sifatnya kondisional atau superfisial berdasarkan keadaan spesifik atau kepentingan spesifik. Ini misalnya kita mendesain format mental semenarik mungkin saat mau bertemu calon mertua, saat diwawancarai kerja, dan lain-lain. Seorang pejabat publik bisa saja mendesain format mental dan penampilan se-menarik mungkin, se-positif mungkin atau se-elegan mungkin saat berbicara di depan publik atau saat kampanye. Untuk kepentingan perkembangan jangka panjang, yang benar-benar perlu kita audit adalah konsep-diri permanent yang sudah masuk ke file Alam Bawah Sadar. Ini perlu "kerja keras" untuk memperbaikinya. Kenapa dan bagaimana?

Membangun Konsep Diri
Sebelum menjawab "bagaimananya", saya ingin lebih dulu menandaskan "kenapanya" dulu. Ini terkait dengan sumber eksternal dan internal di atas. Maksudnya saya, meski sumber konsep-diri itu bisa berasal dari luar dan dari dalam, tapi untuk memperbaikinya, ini harus berawal dari kita atau dari dalam. Seluruh perbaikan diri itu berawal dari dalam. Kaidah ini berlaku untuk semua orang dewasa (baca: bukan anak-anak).

Anak-anak yang punya konsep-diri negatif masih bisa dibenarkan jika orangtua atau lingkungan yang "pantas" disalahkan.  Tapi untuk orang dewasa, ini tidak berlaku. Meski kita bisa menyalahkan lingkungan, keluarga, sekolah, dan lain-lain, tetapi ujung-ujungnya yang menerima akibat adalah tetap diri kita. Ini bukti bahwa tanggung jawab untuk memperbaiki diri itu tidak bisa didelegasikan, dipasrahkan atau dilemparkan kepada pihak manapun.

Karena itu, tradisi kita memperkenalkan konsep kehidupan yang kita sebut aqil baligh. Aqil artinya akal kita sehat, tidak rusak karena usia atau kecelakaan. Baligh artinya usia kita bukan lagi anak-anak. Konsep ini digunakan untuk menandai perpindahan tanggung jawab. Seluruh aspek positif atau negatif yang dimiliki anak-anak, itu sebagian besarnya menjadi tanggung jawab orangtua, keluarga atau lingkungan. Begitu sudah menginjak aqil baligh ini, tanggung jawab itu secara otomatik pindah dari luar ke dalam.

Dengan kata lain, terlepas kita lahir dari keluarga, lingkungan atau sekolah yang bagus atau tidak, tetapi jika menolak memperbaiki konsep-diri negatif yang kita miliki, maka yang salah bukan keluarga, lingkungan atau sekolah. Yang salah adalah kita. Maksudnya, akibat atau konsekuensinya tetap kembali ke kita, bukan kembali ke keluarga, lingkungan atau sekolah. Inilah yang saya maksudkan kerja keras itu.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki konsep-diri yang sudah terlanjur negatif atau kurang mendukung kemajuan? Salah satu pilihan yang bisa kita jalankan adalah:

Pertama, menambah Pengetahuan (P1). Bertambahnya jenis dan bobot ilmu pengetahuan, bukan saja akan membuat kita memiliki pengetahuan itu, tetapi juga akan membuat kita memiliki opini-diri yang lebih baru dan lebih bagus. Soal caranya dan tehniknya bagaimana,  itu urusan kita masing-masing. Kita bisa menambah pengetahuan dengan berbagai cara: melanjutkan sekolah, melakukan self-learning, self-education, dan lain-lain.

Satu cara yang pasti dapat dilakukan oleh semua orang, terlepas apapun status ekonomi dan sosialnya, adalah membaca. Entah itu membaca buku baru atau buku bekas, entah itu membaca majalah baru atau majalah bekas, entah itu dalam bentuk artikel pendek atau hasil kajian yang panjang. Tapi membaca di sini bukan sekedar membaca. Semua kegiatan membaca itu bagus, namun yang paling bagus adalah memilih materi yang tepat untuk dibaca. Membaca riwayat hidup atau pemikiran tokoh bisa memperbaiki konsep-diri.

Kedua, menambah Pengalaman (P2). Pengalaman bukanlah serangkaian peristiwa yang menimpa kita, melainkan apa yang kita lakukan atas peristiwa itu. Menambah pengalaman akan membuat kita tahu apa yang bisa kita lakukan sekarang dan apa yang belum bisa kita lakukan.  Cara yang bisa kita tempuh antara lain:
  1. Mempraktekkan ide-ide perbaikan sampai berhasil
  2. Mengatasi masalah dengan cara yang positif
  3. Meraih target positif,
  4. Mewujudkan standar prestasi yang kita buat,
  5. Berkreasi
  6. Dan lain-lain.
Pengalaman akan memperbaiki konsep-diri. Semakin banyak kemampuan yang kita ketahui, semakin bagus kita punya penilaian terhadap diri sendiri. Nah, untuk mengungkap berbagai kemampuan / kapasitas itu, tentu tidak bisa dilakukan dengan duduk.  Terkadang kita baru mengetahui kemampuan kita setelah mempraktekkan banyak hal. Praktek akan menunjukkan dua hal: a) ternyata saya mampu melakukan hal-hal yang dulunya saya anggap tidak mungkin, dan b) ternyata saya belum mampu melakukan hal-hal yang sebelumnya saya anggap mudah. Jadi lebih akurat. 

Ketiga, menambah Pergaulan (P3). Pergaulan, dalam arti yang luas, akan memperbaiki konsep-diri. Tapi ini dengan syarat: asalkan kita membuka diri untuk mengambil pelajaran dari orang yang kita kenal. Orang lain memang tidak bisa menyulap kita menjadi siapapun dan apapun. Namun jangan lupa, orang lain mengilhami kita, orang lain meng-inspirasi kita, orang lain adalah contoh bagi kita, orang lain adalah pembimbing kita, orang lain adalah pelajaran buat kita.

Intinya, perbanyaklah mengenal orang (langsung atau tidak langsung) dan perbanyaklah mengambil pelajaran. Biasanya, kita akan tahu kejelekan / kebaikan diri sendiri  setelah melihat jeleknya orang lain atau kebaikannya. Biasanya, kita akan segera sadar konsep-diri yang kita pilih setelah berinteraksi dengan orang lain. Karena itu, ada ungkapan pendek yang mungkin pas untuk diingat. "Cara yang paling bagus untuk menjadi bintang olahraga adalah belajar dari bintang olahraga."

Konsep-diri, entah itu positif atau negatif, memang tidak bisa menyulap prestasi kita menjadi bagus. Tetapi, untuk meraih prestasi yang lebih bagus, dibutuhkan konsep-diri yang semakin bagus. Semoga bermanfaat !!





Top of Form